''LAPAN enam Ndan, lapan enam, lapan enam,'' demikian yang selalu kita dengar dari handy talky milik polisi. Istilah lapan enam atau dalam angka ditulis ''86'' adalah salah satu kode atau sandi yang harus dipahami oleh anggota polisi. Sandi itu memiliki arti sama-sama mengerti atau memahami sebuah ''taruna''.
Lantas, apa maksudnya ''taruna''? Bukan berarti siswa Akpol yang lazim disebut taruna, melainkan istilah dalam kepolisian yang maksudnya perintah. Tepatnya, ada perintah apa yang harus dilakukan. Dengan demikian, maksud dari istilah ''86 Ndan, taruna?'', adalah ''mengerti Komandan, siap menerima perintah''. Begitulah kira-kira maksudnya.
Namun istilah ''86'' itu, makin lama makin berkembang. Dalam bahasa plesetan, berarti saling mengerti dalam bentuk saling membantu.
Hal itu berkonotasi negatif, yakni saling mengerti karena penanganan oleh seorang oknum anggota polisi hendaknya dihargai dengan sebuah ''penghargaan'', dalam bentuk ''kemudahan'' pelayanan atau pemberian sejumlah uang untuk melancarkan penanganan kasus.
Atau istilah lain, sekadar untuk ''ATK''. Apa itu ATK? Alat tulis kantor. Ya, sekadar pemberian dari masyarakat yang meminta pelayanan hukum dari oknum polisi untuk melancarkan proses penyidikan, laporan atau yang lainnya. Istilah lainnya juga kerap dipakai ''Rembang Pati'' yang disingkat RP artinya rupiah. Bila disebut dalam istilah kasarnya, lebih gampang dikatakan uang sogok atau pelicin.
Budaya ''86'' atau istilah lain ''ATK'' atau ''Rembang Pati'' itu juga disinggung dalam diskusi publik bertajuk ''Menyambut Lahirnya Komisi Kepolisian Nasional, Antara Harapan dan Tantangan'' di Gedung Dewan Riset Daerah Jawa Tengah, Sabtu lalu. Budaya itu diakui atau tidak, telah mewarnai kehidupan banyak oknum anggota polisi dalam melayani masyarakat atau proses penegakan hukum. Tak menutup kemungkinan akan terjadi, lapor kambing yang hilang akhirnya justru kehilangan kerbau.
Seperti diungkapkan Azam Jauhari, aktivis LSM, dalam diskusi tersebut. Budaya ''86'' muncul disebabkan sikap ambivalen oknum polisi. Dia tidak bisa menyalahkan hal itu karena banyak hal yang memicu perilaku oknum berbuat seperti itu. Bisa jadi karena tingkat kesejahteraan anggota polisi yang masih kurang bagus atau kurang terpenuhinya biaya operasional kelembagaan polisi.
''Menurut saya, agar polisi tampil profesional dan sesuai dengan harapan masyarakat, kesejahteraannya perlu ditingkatkan. Bila polisi sejahtera, maka dia tidak 'menengok' ke kanan dan kiri. Maka, penegakan hukum oleh polisi bisa sesuai dengan harapan masyarakat,'' harapnya.
Biaya Operasional
Begitu juga, kata dia, pimpinan Polri hendaknya memperhatikan biaya operasional sampai di tingkat terendah, yakni polsek. Selama ini, dia tidak pernah mengetahui, berapa besarnya biaya operasional kepolisian, baik untuk pelayanan masyarakat maupun mengejar penjahat. Petugas polisi akan mudah tergoda bila biaya operasional itu tidak tercukupi.
Sayangnya, Kabid Hukum Polda Jateng Kombes JH Simatupang, salah satu pembicara dalam forum tersebut tidak banyak menanggapi lontaran-lontaran yang bernuansa kritis itu. Tanggapan justru lebih banyak didominasi dari pakar kepolisian dari Undip, Erlyn Indarti SH MA, yang juga salah satu anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Simatupang justru menyinggung bahwa salah satu organisasi pemerintah yang kini paling tertib adalah Polri. Sebab pembaruan selalu dilakukan sejak reformasi polisi tahun 1999.
Hal itu ditunjukkan dengan upaya pembersihan internal terkait dengan praktik korupsi di tubuh Polri. Oleh karena itu, dia meminta kepada masyarakat agar tidak nggebyah uyah (menyamaratakan) suatu masalah.
Erlyn Indarti secara tegas mengakui masih banyaknya budaya ''86'' dalam pelayanan di kepolisian. Dalam suatu diskusi di Jakarta, dia telah mengusulkan bahwa budaya ''86'' itu melanggar hukum. Karena itu, budaya itu harus dikikis habis.
Lantas, apa maksudnya ''taruna''? Bukan berarti siswa Akpol yang lazim disebut taruna, melainkan istilah dalam kepolisian yang maksudnya perintah. Tepatnya, ada perintah apa yang harus dilakukan. Dengan demikian, maksud dari istilah ''86 Ndan, taruna?'', adalah ''mengerti Komandan, siap menerima perintah''. Begitulah kira-kira maksudnya.
Namun istilah ''86'' itu, makin lama makin berkembang. Dalam bahasa plesetan, berarti saling mengerti dalam bentuk saling membantu.
Hal itu berkonotasi negatif, yakni saling mengerti karena penanganan oleh seorang oknum anggota polisi hendaknya dihargai dengan sebuah ''penghargaan'', dalam bentuk ''kemudahan'' pelayanan atau pemberian sejumlah uang untuk melancarkan penanganan kasus.
Atau istilah lain, sekadar untuk ''ATK''. Apa itu ATK? Alat tulis kantor. Ya, sekadar pemberian dari masyarakat yang meminta pelayanan hukum dari oknum polisi untuk melancarkan proses penyidikan, laporan atau yang lainnya. Istilah lainnya juga kerap dipakai ''Rembang Pati'' yang disingkat RP artinya rupiah. Bila disebut dalam istilah kasarnya, lebih gampang dikatakan uang sogok atau pelicin.
Budaya ''86'' atau istilah lain ''ATK'' atau ''Rembang Pati'' itu juga disinggung dalam diskusi publik bertajuk ''Menyambut Lahirnya Komisi Kepolisian Nasional, Antara Harapan dan Tantangan'' di Gedung Dewan Riset Daerah Jawa Tengah, Sabtu lalu. Budaya itu diakui atau tidak, telah mewarnai kehidupan banyak oknum anggota polisi dalam melayani masyarakat atau proses penegakan hukum. Tak menutup kemungkinan akan terjadi, lapor kambing yang hilang akhirnya justru kehilangan kerbau.
Seperti diungkapkan Azam Jauhari, aktivis LSM, dalam diskusi tersebut. Budaya ''86'' muncul disebabkan sikap ambivalen oknum polisi. Dia tidak bisa menyalahkan hal itu karena banyak hal yang memicu perilaku oknum berbuat seperti itu. Bisa jadi karena tingkat kesejahteraan anggota polisi yang masih kurang bagus atau kurang terpenuhinya biaya operasional kelembagaan polisi.
''Menurut saya, agar polisi tampil profesional dan sesuai dengan harapan masyarakat, kesejahteraannya perlu ditingkatkan. Bila polisi sejahtera, maka dia tidak 'menengok' ke kanan dan kiri. Maka, penegakan hukum oleh polisi bisa sesuai dengan harapan masyarakat,'' harapnya.
Biaya Operasional
Begitu juga, kata dia, pimpinan Polri hendaknya memperhatikan biaya operasional sampai di tingkat terendah, yakni polsek. Selama ini, dia tidak pernah mengetahui, berapa besarnya biaya operasional kepolisian, baik untuk pelayanan masyarakat maupun mengejar penjahat. Petugas polisi akan mudah tergoda bila biaya operasional itu tidak tercukupi.
Sayangnya, Kabid Hukum Polda Jateng Kombes JH Simatupang, salah satu pembicara dalam forum tersebut tidak banyak menanggapi lontaran-lontaran yang bernuansa kritis itu. Tanggapan justru lebih banyak didominasi dari pakar kepolisian dari Undip, Erlyn Indarti SH MA, yang juga salah satu anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Simatupang justru menyinggung bahwa salah satu organisasi pemerintah yang kini paling tertib adalah Polri. Sebab pembaruan selalu dilakukan sejak reformasi polisi tahun 1999.
Hal itu ditunjukkan dengan upaya pembersihan internal terkait dengan praktik korupsi di tubuh Polri. Oleh karena itu, dia meminta kepada masyarakat agar tidak nggebyah uyah (menyamaratakan) suatu masalah.
Erlyn Indarti secara tegas mengakui masih banyaknya budaya ''86'' dalam pelayanan di kepolisian. Dalam suatu diskusi di Jakarta, dia telah mengusulkan bahwa budaya ''86'' itu melanggar hukum. Karena itu, budaya itu harus dikikis habis.
sumber:yahoo.com
No comments:
Post a Comment